JURNAL
MORALITAS PARA KORUPTOR
MATAKULIAH ETIKA BISNIS
Nama : Nur Khasanah
NPM :
15211314
Kelas :
4EA17
UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI
2014
ABSTRAK
Nur
Khasanah, 15211314
“MORALITAS
PARA KORUPTOR”
Jurnal.
Jurusan Manajemen. Fakultas Ekonomi. Universitas Gunadarma. 2014
Kata
Kunci : Moral, Korupsi, Koruptor.
Mendengar kata korupsi sudah tidak asing
lagi bagi masyarakat. Akhir-akhir ini
banyak sekali berita yang menginformasikan mengenai kasus korupsi yang
melibatkan para kalangan atas negara ini seperti para pejabat, menteri, hingga
pegawai negeri sipil. Tindakan korupsi
sudah merajalela di negeri ini, terutama dikalangan para pejabat
pemerintahan. Mereka menyalahgunakan
kekuasaan mereka untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, padahal
tindakan mereka tersebut merugikan banyak pihak. Mereka mengambil hak yang memang bukan
seharusnya milik mereka. Untuk sekarang
ini, korupsi semakin melebar dan membudaya, sehingga sangat sulit untuk
diberantas. Hal ini disebabkan oleh
perilaku individu yang tidak memiliki sikap moral sehingga mereka merasa tidak
bersalah jika melakukan tindakan yang tercela seperti tindakan korupsi. Selain hal tersebut, ketidak tegasan para
lembaga-lembaga hukum dalam mengangani kasus-kasus korupsi juga menyebabkan
korupsi semakin marak dan meluas.
Untuk dapat mencegah semakin meluas dan
melebarnya tindakan korupsi, dapat diantisipasi dengan melakukan pendidikan
moral pada generasi muda sejak kini. Pendidikan
moral diperlukan untuk meningkatkan moralitas setiap individu, agar mereka
merasa malu jika melakukan perbuatan yang tidak bermoral. Hal tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang
berada disekitar individu-individu tersebut seperti orangtua mapun guru. Selain adanya pendidikan moral, diperlukan
juga rasa keimanan yang kuat terhadap agama kepercayaan masing-masing
individu. Karena jika hanya moral saja
tanpa adanya rasa takut terhadap Tuhan mereka masing-masing, semua itu akan
sia-sia.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Tindakan
korupsi merupakan hal yang tidak asing lagi, bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat telah banyak mendengar kata
korupsi muncul pada banyak media massa, yang selalu identik dengan para
kalangan pemerintahan, pejabat-pejabat negara yang telah dipilih rakyat. Mereka telah diberi kepercayaan untuk
mengatur serta membangun negara ini, namun tindakan korupsi tetap saja
terjadi. Mereka seakan tidak puas dengan
apa yang telah mereka punya saat ini, sehingga itu semua memicu mereka untuk
melakukan korupsi.
Para
koruptor, mereka yang melakukan tindak korupsi, jelas memiliki pendidikan yang
tinggi tetapi tetap saja mereka tidak mempunyai akhlak yang baik. Sesuatu yang bukan merupakan hak mereka,
mereka ambil secara diam-diam hanya untuk kebahagian mereka saat berada di
dunia ini. Hal seperti itu sudah jelas
bahwa perbuatan mereka bertentangan dengan nilai dan moral.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
tindakan korupsi dapat terjadi ?
2. Bagaimana
memberantas tindakan korupsi ?
3. Bagaimana
dampak yang timbulkan terhadap kegiatan bisnis dari adanya tindakan korupsi ?
4. Siapa
yang bertanggung jawab dalam sebuah tindakan korupsi ?
1.3
Batasan
Masalah
Dalam
pembahasan kali ini, penulis hanya membatasi penjelasan mengenai moralitas
koruptor menjadi beberapa pokok bahasan saja :
1. Pengertian
moral
2. Pengertian
korupsi
3. Moral
para koruptor
1.4
Maksud
dan Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui bagaimana tindakan korupsi dapat terjadi.
2. Untuk
mengetahui cara memberantas tindakan korupsi
3. Untuk
mengetahui dampak yang ditimbulkan dari adanya korupsi terhadap sebuah kegiatan
bisnis.
4. Untuk
mengetahui siapa yang akan bertanggung jawab dalam sebuah tindakan korupsi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Moral
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1989: 152), moral diartikan sebagai “akhlak”, “budi pekerti:,
atau “susila” (Muchson dan Samsuri, 2013: 1).
Atau dapat dikatakan moral merupakan akhlak, budi pekerti seseorang. Moral juga berkaitan dengan tindakan atau
sikap seseorang. Moral adalah kaidah
mengenai apa yang baik dan apa yang buruk.
Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral”. Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan
kebaikan lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau “tidak
bermoral”. Moral dibagi menjadi dua,
yaitu moralitas subjektif dan moralitas objektif.
Moralitas objektif
lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan bersama. Moralitas objektif adalah tata nilai yang
secara objektif ada dan dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat
manusia sebagai makhluk berakal budi.
Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan,
norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Pelanggaran terhadap moralitas objektif ini
mengakibatkan si pelanggar di kenai sanksi dan hukum yang berlaku.
Moralitas subjektif
adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari
manusia. Karena setiap manusia berakal
budi, maka setiap manusia mempunyai hal itu dalam dirinya sendiri dan tata
nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan juga hal ini harus ditaati. Berbeda dengan moralitas objektif,
pelanggaran terhadap norma subjektif ini tidak bisa dikenai hukum melainkan
melalui hati nurani. Hati nurani inilah
yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih untuk menyimpang kepada
keburukan.
2.2 Pengertian Korupsi
Pengertian dari korupsi
adalah perbuatan merusak sistem yang bisa dilakukan oleh siapa saja karena
suatu kepentingan atau tujuan. Korupsi berasal
dari dua kata “com” dan “rumpere” yang berarti tindakan buruk secara
kolektif. Pandangan secara umum, korupsi
merupakan manipulasi uang negara oleh pejabat pemerintah.
Menurut Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk
dalam tindak pidana korupsi adalah :
Setiap
orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau saran yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Sedangkan menurut para
ahli ekonomi menggunakan definisi yang lebih konkret. Korupsi didefinisikan sebagai pertukaran yang
menguntungkan (antara prestasi dan kontraprestasi, imbalan materi atau
nonmateri), yang terjadi secara diam-diam dan sukarela, yang melanggar norma-norma
yang berlaku, dan setidaknya merupakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang
yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat dalam bidang umum dan swasta.
Beberapa bentuk korupsi, seperti :
1. Manipulasi
2. Suap
atau Penyogokan
3. Penyalahgunaan
Kekuasaan
4. Nepotisme
5. Kolusi
Bentuk atau praktik
korupsi yang paling sering dilakukan di Indonesia, yaitu suap atau biasa
dikenal penyogokan. Suap di Indonesia
sudah semakin marak dilakukan, bahkan semakin melebihi batas kemanusiaan. Sogokan atau suap tidak hanya terjadi pada
instansi pemerintah dan pelaku bisnis saja, tetapi juga dalam hubungan antara
pelaku bisnis mapun dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak dari suap dan
korupsi terlihat dalam kondisi makro perekonomian Indonesia. Untuk tahun 2004 Indonesia dipersepsikan
berada diurutan ke-6 sebagai negara korupsi dari indeks persepsi korupsi. Dampak berupa kebocoran dalam arus dana
perekonomian Indonesia sangat tinggi karena sifat perekenomiannya menjadi
ekonomi mencari “rente” (rentseeking). Dana yang seharusnya diperuntukkan bagi
kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi, khususnya bisnis di
Indonesia telah hilang dan menjadi milik pribadi.
Contoh kebocoran arus
dana yang berkaitan dalam kegiatan bisnis dapat terjadi di beberapa titik,
seperti :
a. Dana
pemerintah untuk pemasokan barang, jasa dan proyek yang dialirkan ke bisnis.
b. Dana
bisnis untuk pembayaran pajak, perolehan berbagai izin dan hak spesial lainnya
dari pemerintah.
c. Dana
masyarakat untuk investasi yang mengalir ke bisnis dikenakan “markup”.
d. Dana
yang mengalir untuk transaksi antar – bisnis.
Efek suap yang utama
adalah timbulnya biaya yang tinggi dan berakibat makin tingginya nilai harga
barang dan jasa karena harus menutup biaya tidak langsung yang berkaitan dengan
proses produksi barang dan jasa. Oleh
karena itu, konsumen akan dirugikan.
Penyuapan semakin meningkatkan ketidakpastian karena persaingan pasar
sudah menjadi tidak sehat. Keberhasilan
tergantung pada kekuatan dan kesanggupan melawan suap, bukan peningkatan
kualitas produk dan jasa.
Suap merupakan
penawaran atau penerimaan hadiah, pinjaman, pembayaran, imbalan atau keuntungan
lainnya yang ditujukan kepada siapapun sebagai bujukan untuk melakukan sesuatu
yang tidak wajar, tidak sah atau pelanggaran kepercayaan, dalam tindakan
berbisnis. Tindakan suap atau penyogokan
merupakan upaya mempengaruhi untuk melakukan sesuatu yang tidak wajar dan tidak
sah. Yang dimaksud dengan ‘tidak wajar’
dan ‘tidak sah’ adalah ketika terjadi konversi dana atau barang yang diberikan
menjadi kekuasaan untuk mengambil keputusan yang bersifat tidak adil dan tidak
transparan.
Suap merupakan tindakan
yang bukan saja tidak mengikuti kaidah etika bisnis tetapi juga memiliki
implikasi hukum, khususnya bila suap dilakukan pada pegawai negeri atau pejabat
negara sebagaimana tertuang dalam naskah Undang – Undang No. 20/2011 tentang
Tindak Pidana Korupsi.
2.3 Moral Para Koruptor
Korupsi adalah penyakit
bangsa dan secara tegas pula merupakan penyakit moral. Tindakan korupsi melibatkan dua jenis moral
diatas, yaitu moral objektif dan moral subjektif. Pemberantasan korupsi dengan demikian juga
memasuki kedua jenis moral tersebut.
Korupsi dapat diberantas jika secara objektif hal tersebut dilarang
(dengan memberlakukan hukuman yang amat berat bagi seseorang yang melakukan
tindak pidana korupsi). Dan secara subjektif
pula diperangi (dengan mempertajam peran budi pekerti serta nurani yang
dimiliki oleh setiap manusia).
Di satu sisi, penegakan
moralitas objektif adalah soal penegakan aturan main dalam hidup, bernegara,
ketegasan pemerintah dalam menegakkan huku, terhadap para koruptor, dan
pembenahan sistem peradilan yang semakin adil.
Di sisi lain, penegakkan moralitas subjektif adalah soal pembenahan mentalitas anggota organisasi,
pembenahan hidup kemanusiaan sebagai makhluk yang berakal budi, dan penajaman
hati nurani.
Penekanan kepada salah
satu moralitas saja sudah cukup baik, tetapi belum cukup. Pemberlakuan hukum yang berat terhadap para
koruptor itu baik, tetapi belum cukup.
Karena jika hanya dengan pemberlakukan hukum yang berat, orang hanya
dididik untuk takut menjadi koruptor.
Seseorang hanya takut melakukan korupsi hanya karena takut hukuman mati,
padahal yang seharusnya muncul adalah kesadaran untuk menghindarinya karena
korupsi itu tindakan yang buruk (bukan hanya berlaku soal takut). Selain adanya peraturan yang menyangkut hukum
diperlukan pula adanya pendidikan hati nurani (misalnya dilakukan dengan
mengikuti anjuran agama dan berlaku saleh).
Para koruptor jelas
berpendidikan tetapi mereka mempunyai akhlak yang tidak baik. Uang yang seharusnya
diberikan untuk rakyat tetapi malah di korupsi untuk mereka. Koruptor sudah tahu bahwa korupsi itu tidak
baik tetapi masih saja dijalankan. Hal
itu berarti mereka sudah tahu itu salah dan dilarang oleh negara maupun agama
mereka masing-masing, tetapi praktek korupsi itu masih dianggap halal oleh
mereka. Walau para koruptor sering
mengatakan “berantas korupsi” tetapi didalam hati nuraninya dia mempunyai
keinginan untuk korupsi. Itu sudah jelas
bahwa perbuatan mereka bertentangan dengan nilai dan moral.
Jika para pejabat
negara mempunyai pedoman agama yang baik, pasti dia tidak mau melaksanakan
korupsi. Dia pasti lebih memikirkan
nasib rakyat yang diwakilinya olehnya.
Semua itu tergantung pada moral, akhlak, dan budi pekerti masing-masing
individu. Jika individu tersebut
mempunyai moral yang baik pasti tidak akan mau melakukan korupsi yang merugikan
orang lain.
BAB
III
METODOLOGI
3.1
Objek
Penelitian
Pada
penulisan ini penulis mengambil objek pada kasus – kasus korupsi yang ada di
Indonesia pada tahun 2013.
3.2
Data
Penulisan
3.3
Metode
Pengumpulan Data
Dalam
mengumpulkan data, penulis memperoleh data dari berbagai sumber dengan
menggunakan metode penulisan sebagai berikut :
1. Observasi
2. Studi
Kepustakaan
Mencari
refernsi dari literature-literature yang berkaitan dengan topic dalam penulisan
ini.
BAB
IV
PEMBAHASAN
Korupsi di Indonesia
khususnya benar-benar telah menjadi penyakit yang amat kronis, tidak hanya
menyerang para petinggi negara (para pengambil kebijakan), maupun penegak
hukum, tapi juga sudah menjalar ke lapisan terbawah pegawai-pegawai di
birokrasi pemerintahan. Namun bukan
hanya di instansi pemerintahan saja telah terjadi korupsi, bahkan di institusi
bukan pemerintahan saja, misal pendidikan dimana seharusnya menjadi tempat
generasi-generasi muda menuntut ilmu yang seharusnya mereka akan menjadi para
pewaris pemangku kekuasaan di masa mendatang, juga tidak luput dari tindakan
korupsi.
Perbuatan korupsi
memang berbeda dengan kasus tindakan
biasa, perbuatan ini yang ‘notabene’ dilakukan oleh oknum pejabat public
cenderung memiliki dampak yang luas, yang menyangkut suatu sistem pemerintahan
dimana dia berada, dan bahkan bisa membuat kehancuran suatu negara. Hal ini yang membedakan dengan perilaku
criminal biasa di tingkat masyarakat umum yang efeknya sebatas lingkup
per-individu dan tidak mempengaruhi sistem pemerintahan.
4.1
Faktor
Adanya Tindak Korupsi
Seseorang
yang awalnya terlihat baik-baik, namun jika dilihat dari sisi berbeda dia juga
terlibat dalam tindak korupsi. Hal ini
dapat terjadi karena lingkungan yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang
tersebut untuk melakukan tindakan korupsi dan mengalahkan sifaat baik orang
tersebut yang sudah menjadi jati diri orang tersebut. Lingkungan dalam hal ini adalah hal yang
paling besar memberikan dorongan dan bukan memberikan efek hukuman terhadap
orang yang menyalahgunakan kekuasaannya.
Beberapa
faktor yang menjadi alasan dari tindak korupsi, yaitu :
1. Faktor
Kebutuhan
Merupakan faktor yang dapat
mendorong seseorang melakukan korupsi karena keinginan untuk memiliki sesuatu
namun pendapatannya tidak memungkinkan untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
2. Faktor
Tekanan
Merupakan faktor yang biasanya
dilakukan karena permintaan dari seseorang, kerabat atau bahkan atasan sendiri
yang tidak bisa dihindari.
3. Faktor
Kesempatan
Merupakan faktor yang biasanya
dilakukan oleh atasan atau pemegang kekuasaan dengan memanfaatkan jabatan dan
kewenangan yang dimiliki untuk memperkaya dirinya, walaupun dengan cara yang
salah dan melanggar undang-undang.
4. Faktor
Rasionalisasi
Merupakan faktor yang biasanya
dilakukan oleh pejabat tinggi seperti bupati/walikota, ditingkat kabupaten/kota
atau gubernur ditingkat provinsi dengan menganggap bahwa wajar bila memiliki
rumah mewah, mobil mewah dan lain sebagainya karena ia ia seorang pejabat
pemerintahan.
Beberapa penyebab
korupsi menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya
berjudul “Strategi Pemberantasan Korupsi” dimana beberapa yang menjadi penyebab
korupsi antara lain :
1. Aspek
Individu
a. Sifat
Tamak Manusia
b. Moral
yang Kurang Kuat
c. Penghasilan
yang Kurang Mencukupi
d. Kebutuhan
Hidup yang Mendesak
e. Gaya
Hidup yang Konsumtif
f. Sifat
Malas atau Tidak Mau Bekerja
g. Ajaran
Agama yang Kurang Diterapkan
2. Aspek
Organisasi
a. Kurangnya
Sikap Keteladanan Pimpinan
b. Tidak
Adanya Kultur Organisasi yang Benar
c. Sistem
Akuntabilitas yang Benar di Instansi Pemerintah yang Kurang Memadai
d. Kelemahan
Sistem Pengendalian Manajemen
e. Manajemen
Cenderung Menutupi Korupsi di dalam Organisasi
3. Aspek
Tempat Individu dan Organisasi
a. Nilai-Nilai
di Masyarakat Kondusif Untuk Terjadinya Korupsi.
b. Masyarakat
Kurang Menyadari Sebagai Korban Utama Korupsi
c. Masyarakat
Kurang Menyadari Bila Dirinya Terlibat Korupsi
d. Masyarakat
Kurang Menyadari Bahwa Korupsi akan bisa Dicegah dan Diberantas Bila Masyarakat
Ikut Berpartisipasi Aktif
e. Aspek
Peraturan Perundang-Undangan
4.2
Cara
Memberantas Tindak Korupsi
Beberapa penyebab
korupsi sulit diberantas, yaitu :
1. Kasus
korupsi sudah dianggap sebagai kebiasaan bagi sebagian orang, terutama para
pejabat yang dengan sengaja melakukannya.
2. Kasus
korupsi terkadang melibatkan banyak pihak dan berbelit.
3. Korupsi
dilakukan, karena adanya empat unsur, antara lain :
a. Niat
untuk Melakukan Korupsi
b. Kemampuan
untuk Melakukan Korupsi
c. Peluang
atau Kesempatan
d. Target
yang Cocok.
4. Hukuman
yang Kurang Tegas
5. Korupsi
dilakukan Secara Sistematis
6. Adanya
Upaya untuk Balas Dendam
Dengan adanya alasan
sulitnya diberantas korupsi, maka untuk memberantasnya perlu strategi yang baik
pula. Berikut cara memberantas tindak
pidana korupsi, yaitu :
1. Strategi
Preventif, dimana strategi ini dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada
hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi.
2. Strategi
Deduktif, dimana strategi ini dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan
agar jika suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut
akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan
seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat.
3. Strategi
Represif, dimana strategi ini dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan
untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada
pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi.
4. Strategi
Follow The Money, dimana strategi ini
menelusuri harta kekayaan dari hasil kejahatan korupsi. Tujuannya adalah mencegah dan memerangi
kejahatan untuk mendeteksi, represif, dan prefentif. Metode ini dilakukan tanpa sepengethuan
pelaku korupsi seperti yang dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantas Korupsi).
4.3
Pengaruh
Korupsi Terhadap Kegiatan Bisnis
1. Menghambat
investasi dan pertumbuhan ekonomi.
2. Korupsi
melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program
pembangunan.
3. Korupsi
menghambat upaya pengentasa kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
4. Korupsi
berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.
Dampak korupsi terhadap
bisnis dan perekonomian di Indonesia sangat berpengaruh,secara tidak langsung
akan meningkatkan angka kemiskinan dan dapat menyebabkan ketidakmerataan
pembangunan ekonomi di Indonesia. Disamping
itu, juga menciptakan perilaku buruk yang dapat mendorong timbulnya persaingan
usaha yang tidak sehat dipengaruhi oleh suap, bukan karena kualitas dan
manfaat.
Bagi perusahaan swasta,
korupsi berdampak pada ketidakadilan, ketidakseimbangan dan persaingan tidak
sehat sehingga masyarakatlah yang akan dirugikan, seperti tingginya harga
pasaran suatu produk (barang/jasa). Selain
itu, pengaruh korupsi juga terlihat dari kurangnya inovasi atau rasa kreatif
dari masing-masing karyawan dalam persaingan memajukkan perusahaannya.
4.4
Pihak
yang Bertanggunggjawab Atas Terjadinya Tindak Korupsi
Dari
fenomena tersebut pihak mana yang lebih bertanggungjawab atas terjadinya tindak
korupsi di Indonesia. Pemertintahkan
yang harus bertanggungjawab, tidak beberapa diantara mereka pun melakukan
korupsi. Penegak hukumkah yang harus bertanggungjawab,
tidak beberapa dari mereka pun terlibat kasus korupsi. Jadi jawabannya adalah
semua, semua pihak harus bertanggungjawab atas terjadinya tindak korupsi. Dibutuhkan sebuah pendidikan moral bagi bangsa
ini, perlu adanya peran dari berbagai instansi pemerintah maupun kelompok dan
individu yang sadar akan bahaya korupsi, agar bangsa ini tidak terus terjerumus
dalam lingkaran api korupsi.
Selain
itu perlu adanya pembentengan diri sendiri dengan iman dan moral yang kuat maka
kita akan mampu untuk menahan gangguan dan rayuan untuk berbuat korupsi. Serta adanya peran orangtua untuk selalu
mengawasi dan memberikan ilmu-ilmu moral sejak dini bagi para generasi
mendatang agar mereka dapat berlaku dan bersifat baik di masyarakat kelak
nantinya. Dan juga adanya peran pengajar
baik guru maupun dosen agar membimbing murid dan mahasiswanya kea rah yang
lebih baik lagi untuk selalu dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
4.4
Permasalahan
Berita-berita di tahun
2013 ini diwarnai dengan kegaduhan maraknya kasus korupsi yang menghiasi media
dan menjadi perbincangan seru di dalam masyarakat. Hampir setiap hari masyarakat disuguhi mulai
dari kasus Korupsi Bailout Century, Kasus Hambalang, Kasus Simulator SIM dan
terakhir impor daging sapi. Sudah banyak
pejabat negara, pengusaha, politisi dan komponen masyarakat lainnya yang
mendekam di hotel prodeo dan dicap sebagai koruptor. Namun ternyata hal itu tidak membuat jenuh, faktanya
kecenderungan peristiwa korupsi semakin banyak.
Padahal bangsa
Indonesia mempunyai dasar negara Pancasila yang merupakan pancaran nilai luhur
bangsa. Nilai-nilai luhur pancasila yang
seharusnya dijadikan acuan seperti dilupakan.
Akibatnya, korupsi marak di mana-mana.
Ironisnya, tindak korupsi itu dilakukan elite politik yang seharusnya
memberikan contoh dalam menjunjung moralitas.
Terkuaknya, kasus korupsi di hamper semua lembaga atau departemen
pemerintahan seakan meneguhkan bahwa kekuasaan cenderung korup. Fenomena ini menegaskan bahwa Pancasila
selama ini hanya dijadikan slogan, tak dijiwai sebagai nilai luhur yang patut
dijunjung tinggi.
Kandungan nilai-nilai
pancasila memiliki kesesuaian dengan fitrah ilahiyah yang termuat di dalam
ajaran sejumlah kitab sucii dalam semua agama.
Sangat disayangkan, nilai-nilai itu tampaknya belum diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Nurani
sebaagian pejabat di Indonesia tidak lagi berjiwa Pancasila. Tak heran, jika korupsi merajalela dan
merebak di mana-mana.
Pancasila yang memuat
nilai-nilai moral dan etis seakan menjadi ungkapan yang tak bermakna dan
cenderung dilupakan. Karena itu, kini
waktunya menjadikan Pancasila sebagai rumah bagi mentalitas semua komponen
masyarakat. Pancasila harus kembali
dijadikan sebagai pedoman atau panduan untuk bertindak dan berperilaku agar tak
melenceng dari nilai-nilai yang telah dijadikan sebagai kontrak sosial bersama sejak
Indonesia merdeka.
BAB
IV
KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan
Bedasarkan
penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi dapat terjadi
akibat kurangnya sifat moralitas dalam diri setiap individu. Dengan pendidikan yang tinggi saja, tidak
akan menjamin kita terhindar dari tindakan korupsi. Banyak aspek yang mempengaruhi seseorang
dalam melakukan tindakan korupsi, salah satunya adalah faktor lingkungan yang
dapat menyebabkan seseorang terdorong untuk melakukan tindakan korupsi. Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa
pihak yang menyebabkan terjadinya korupsi adalah diri sendiri atau timbul dari
masing-masing individu. Untuk itu perlu
adanya pendidikan moral untuk bangsa ini, agar bangsa ini tidak terus menerus
terjerumus ke dalam lingkaran api korupsi.
Selain itu dibutuhkan pula, pendidikan moral dari lingkungan sekitar,
misal orang tua maupun guru yang mengajarkan kita sejak dini mengenai
pendidikan moral tersebut.
5.2
Saran
Perlu adanya ketegasan
dari pihak-pihak seperti pemerintah atau instansi serta kelompok hingga
individu itu sendiri untuk dapat memberantas tindak korupsi tersebut. Pemerintah dapat membantu dengan membuat
kebijakan mengenai hukuman atau pelanggaran atas moralitas objektif. Peraturan ini harus diberlakukan kesemua
pihak yang termasuk ke dalam lingkup negara Indonesia tanpa terkecuali
pemerintah itu sendiri yang membuat peraturan tersebut. Jika peraturan sudah dibuat dan ditetapkan,
selanjutnya pemerintah harus mengawasi serta bertindak tegas pada siapa saja
yang melanggar peraturan tersebut.
Masyarakat atau setiap
individu juga harus berperan aktif dengan terus menerapkan sikap moralitas
didalam kehidupan sehari-hari mereka. Serta
adanya keimanan yang kuat terhadap kepercayaan masing-masing agama untuk
benar-benar tidak akan melanggar peraturan atau melakukan perbuatan yang tidak
bermoral.
DAFTAR
PUSTAKA
AR, Muchson dan Samsuri. 2013. “Dasar-Dasar Pendidikan Moral (Basis
Pengembangan Pendidikan Karakter)”. Yogyakarta
: Penerbit Ombak.